Selasa, 23 Februari 2010

Mengatasi Bayi Muntah / Gumoh


Oleh: AsianBrain.com Content Team

Sebagai orang tua, Anda harus memahami perbedaan antara bayi muntah dan gumoh. Keduanya serupa, namun sebenarnya tidak sama. Bayi yang kenyang sering mengeluarkan ASI yang sudah ditelannya. Jika sedikit, maka disebut bayi gumoh. Volumenya kurang dari 10 cc. Berupa ASI yang sudah ditelan si kecil. Namun, jika volumenya banyak maka disebut bayi muntah. Volumenya diatas 10 cc.

Dilihat dari cara keluarnya, maka gumoh akan mengalir biasa dari mulut, dan tidak disertai kontraksi otot perut. Sedangkan ketika bayi muntah akan menyembur seperti disemprotkan dari dalam perut dan disertai kontraksi otot perut. Kadang kala juga keluar dari lubang hidung.

Kebanyakan gumoh akan terjadi pada bayi berumur beberapa minggu, 2-4 bulan atau 6 bulan dan akan hilang dengan sendirinya. Jika bayi Anda mengalami gumoh, Anda tidak perlu khawatir, karena ini proses alami dan wajar untuk mengeluarkan udara yang tertelan bayi saat minum ASI.

Ketika bayi terlalu banyak minum ASI, maka saat minum atau makan ada udara yang ikut tertelan. Kemungkinan lain, bayi Anda gagal menelan, karena otot-otot penghubung mulut dan kerongkongan belum matang. Ini biasanya terjadi pada bayi prematur. Bayi gumoh hanya perlu disendawakan setelah bayi menyusu.

Beda halnya dengan bayi muntah, yang tidak terjadi pada bayi baru lahir, tapi bisa terjadi pada bayi berumur 2 bulan dan dapat berlangsung sepanjang usia. Ini bisa menjadi tanda adanya gangguan kesehatan atau gangguan fungsi pada organ pencernaan bayi, misalnya kelainan katup pemisah lambung dan usus 12 jari.

Untuk kasus ini, cairan muntah biasanya berwarna hijau. Adanya infeksi atau luka, misalnya infeksi tenggorokan yang kadang-kadang dapat memicu bayi muntah. Cairan muntah biasanya disertai bercak darah. Anda harus segera mendatangi dokter, agar segera ditangani sesuai dengan penyebabnya.

Permasalahan bayi muntah memang sering dijumpai. Secara defenisi muntah (regurgitasi) adalah pengeluaran isi lambung atau esofagus secara paksa melalui mulut.

Berikut ini cara yang dapat dilakukan untuk mencegah bayi muntah :

1. Cuci tangan Anda dan sterilkan botol sebelum membuat susu untuk mencegah masuknya kuman/bakteri
2. Sendawakan bayi sebelum dan sesudah minun susu, dengan cara digendong tegak lurus dan disandarkan dibahu anda. tepuk pundaknya dengan halus sampai bayi bersendawa
3. Berikan susu pada bayi secukupnya dan pada waktu tepat.jangan memberikan susu saat bayi sangat lapar,karena bayi cenderung untuk minum dengan terburu-buru dan dalam jumlah banyak.jarak pemberian susu formula kurang lebih 3,5 - 4 jam.
4. Pada waktu menyusukan bayi dengan dot. usahakan nipple dot masuk seluruhnya didalam mulut bayi dengan posisi tegak lurus dengan mulut bayi. Hal ini akan mengurangi masuknya udara ke perut bayi pada saat menyusu, sehingga mencegah bayi muntah.
5. Tempatkanlah bayi di ruangan yang tenang pada saat menyusu dengan posisi berbaring menggunakan bantal yang agak tinggi.
6. Biarkan bayi berbaring kurang lebih 10 menit setelah menyusu, setelah itu sendawakan.

Nah, saran di atas setidaknya membantu Anda untuk mencegah bayi muntah. Jika bayi muntah terus berlangsung, disertai gejala yang lainnya seperti demam, warna muntah berubah, segeralah berkonsultasi dengan dokter Anda.

Jumat, 12 Februari 2010

Ayah dan Bundha

Cerita Sedih "Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali"

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?
..
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku
berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya
diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,
adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa
pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
“Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka
pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,
dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak
mau mendengar kami sebelumnya?” Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga
karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
“Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times”